Reformasi yang dilakukan bangsa Indonesia pada penghujung abad ke- 20M, telah membawa perubahan besar
pada kehidupan ketatanegaraan dan
politik bangsa Indonesia .
Reformasi yang dimotori oleh rakyat termasuk para mahasiswa Indonesia berhasil
meruntuhkan rezim Orde Baru, mengajukan 6 tuntutan yakni; perubahan UUD 1945;
penghapusan doktrin dwi fungsi ABRI, perlindungan HAM, pemberantasan korupsi,
mewujudkan kehidupan demokrasi, dan otonomi daerah (sekretariat MPR,2007:3)
Demokratisasi dan pemberantasan korupsi
merupakan dua hal penting yang dituntut mahasiswa melalui gerakan reformasi
yang jenuh terhadap sistem politik Orde baru yang otoritarian dan koruptif.
Keberhasilan gerakan reformasi dalam mewujudkan demokratisasi dapat ditunjukkan
antara lain dengan dihapuskannya pembatasan pendirian partai politik
sebagaimana dilakukan pada era Orde Baru. Pada era Orde Baru, peserta pemilu
hanya diikuti tiga kontestan yang terdiri dari dua partai politik yaitu Partai
Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia, dan satu Golongan Karya.
Hal ini sangat berbeda dengan kehidupan politik pasca reformasi. Setiap Warga
Negara bebas mendirikan partai politik, dan setiap partai politik yang memenuhi
syarat dan lolos verifikasi berhak menjadi peserta pemilu. Dengan demikian
jumlah partai politik peserta pemilu pun menjadi banyak dan berubah dari satu
pemilu dengan pemilu berikutnya.
Persoalannya adalah apakah dengan
banyaknya partai politik tersebut dapat meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia ?
Jawaban terhadap persoalan ini tergantung bagaimana partai politik yang ada
tersebut dapat menjalankan peran dan fungsinya sebagai pilar demokrasi sehingga
dapat memenuhi harapan rakyat. Berkaitan dengan peran dan fungsi partai politik
sebagai pilar demokrasi, harapan masyarakat hanya bisa terwujud apabila
partai-partai politik menjalankan fungsinya dibidang rekrutmen politik dan
pendidikan politik dengan baik (Joko J. Prihatmoko Moestofa, 2008:63). Dengan
demikian akan terbentuk dan terpilih kader-kader partai politik yang
berkualitas dan mampu berkomunikasi politik dengan rakyat secara benar,
sehingga pada gilirannya nanti akan terpilih politisi-politisi berkualitas dan
mampu membangun pendidikan politik rakyat secara benar.
Kemiskinan partai-partai politik terhadap
kader-kader partai yang berkualitas merupakan akar masalah yang mendasar dalam
pelaksanaan demokrasi pasca reformasi. Hal ini juga sebagai bentuk kegagalan
partai politik dalam menjalankan fungsi rekrutmen politik. Kegagalan fungsi
rekrutmen politik ini, mengakibatkan partai-partai politik tidak mampu menjual
kualitas dan kapasitas kadernya dalam kampanye pemilu agar dipilih rakyat, dan
di sisi lain rakyat pun tidak mengenal
sosok dan pemikiran para calon legislatif yang akan menjadi wakilnya dalam
lembaga perwakilan rakyat yang dicalonkan partai politik. Seperti setali tiga
uang, sehingga yang terjadi adalah perilaku-perilaku dan
kepentingan-kepentingan politik instant yang dilakukan baik oleh partai
poilitik, kader partai maupun rakyat itu sendiri.
Perilaku dan kepentingan politik
instant ini dapat ditunjukkan seperti
pemasangan foto-foto kader partai pada baliho di tepi-tepi jalan sebagaimana
layaknya produk-produk industri, agar kader tersebut dikenal masyarakat. Dan
tidak hanya sebatas pemasangan foto caleg pada baliho agar caleg tersebut
dipilih rakyat, sebab apakah seorang caleg itu dipilih atau tidak, porsinya
lebih banyak ditentukan oleh money politics (Ibit: 68-69). Dengan
demikian untuk menjadi seorang wakil rakyat membutuhkan biaya yang sangat
mahal, sebab biaya politik yang harus dikeluarkan oleh caleg sangat tinggi.
Biaya politik yang sangat tinggi ini
bukan hanya merugikan para caleg saja, melainkan juga merugikan rakyat Indonesia
sendiri. Sebab pada akhirnya rakyat memiliki ketergantungan yang kuat kepada
caleg ( Ibit). Seseorang hanya akan ikut berkampanye apabila diberi uang,
demikian juga pertimbangan seseorang untuk memilih seorang caleg, juga
tergantung pada caleg mana yang mau memberi uang padanya.
High
cost politics dimana uang sangat menentukan dalam
proses demokrasi, menimbulkan demokrasi
koruptif di Indonesia .
Demokrasi koruptif ini, tidak hanya pada proses demokrasi pada pemilihan
anggota legislative saja, melainkan juga pada proses demokrasi pemilihan kepala
daerah. Jika proses demokrasi meliputi
proses bagaimana memperoleh kekuasaan dan menjalankan kekuasan yang telah
diperolehnya, maka kejahatan korupsi juga tidak dapat terhindarkan dalam kedua
proses demokrasi tersebut. Perolehan kekuasaan yang dilakukan dengan cara
koruptif, maka pelaksanaan kekuasaan tersebut juga akan dilakukan secara
koruptif juga. Seseorang yang telah mengeluarkan biaya yang sangat besar untuk
memperoleh kekuasaan, maka ketika kekuasaan itu telah diperolehnya, ia akan berusaha
untuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkannya. Dengan demikian demokrasi
dan korupsi di Indonesia
membentuk sebuah rantai sebab akibat yang
berlaku terus menerus.
Jika korupsi yang terjadi di Indonesia merupakan produk proses politik yang
koruptif, maka menyandarkan semata-mata pada lembaga penegakkan hukum untuk
pembrantasan korupsi di Indonesia
sangat pesemistis. Sebab meskipun lembaga penegakkan hukum merupakan lembaga
yang merdeka dan bebas dari campur tangan lembaga lain termasuk intervensi
politik, akan tetapi pembentukkan dan keberadaan lembaga penegakan hukum
tersebut merupakan produk dari proses politik yang sama. Sehingga sulit untuk
berharap mendapatkan dua telur yang berbeda dari satu induk yang sama.
Oleh karena itu, untuk memutus rantai
demokrasi koruptif di Indonesia
pada saat ini adalah pentingnya membangun karakter bangsa terutama karakter
generasi muda. Membangun karakter siswa sebagai bagian generasi muda merupakan
langkah yang sangat strategis, mengingat siswa merupakan pemimpin bangsa pada
masa yang akan datang. Siswa yang berkarakter akan melahirkan generasi muda
yang berkarakter, dan generasi muda yang berkarakter akan melahirkan bangsa
yang berkarakter, dan bangsa yang berkarakter akan mewujudkan bangsa yang
berkualitas dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk kehidupan demokrasi
bangsa itu sendiri.
setuju
BalasHapus