Namaku Nina, seorang pelajar. Masih duduk di bangku
kelas satu SMA. Aku bersekolah di salah satu SMA negeri di kotaku. SMA Negeri 1
Pandan. SMA semi militer yang dibangun beberapa tahun sebelum berakhirnya rezim
soeharto. Aku sangat menyukai sekolah ku bahkan aku cinta dengan sekolah ini.
Terutama dengan asramanya. Ya, benar! Aku tinggal di asrama. Asrama berlantai
empat dengan segala ceritanya.
Sekolahku
sangat kental dengan senioritasnya. Semua diatur dengan Undang-Undang Senior
yang terdiri dari dua pasal. Pasal satu senior tidak pernah salah, pasal dua
apabila senior salah, kembali ke pasal pertama. Selesai. Semua cerita berasal
dari sini. Dari sekolah, asrama dan pasal
terjadi di zaman ini, zaman telekomunikasi. Saat dimana ilmu pengetahuan
dan teknologi terus berkembang, saat seluruh remaja asyik dengan gadgetnya dan
beinteraksi di dunia maya.
***
Masuk
SMA semimiliter merupakan cobaan terbesar sepanjang 15 tahun hidupku. Walau ini
merupakan keinginanku, aku tetap merasa ini sangat berat. Namun, demi
konsistensi dengan orang tua dan untuk tetap menjaga nama ku yang sudah
terlanjur baik di SMP ku dulu aku bertahan. Bertahan dengan segala kelelahan
fisik dan mental yang silih berganti menghampiri.
Namun,
SMA semi militer ini tidak sepenuhnya cobaan. Dengan fasilitas yang sangat
baik, untuk olahraga, seni dan teknologi, aku yakin seluruh potensiku akan
berkembang disini. Selain itu,teman-temanku merupakan anak-anak yang cerdas,
kreatif dan aktif. Seperti tertulis dalan teori di psikologi perkembangan,
perkembangan individu dipengaruhi oleh 2 hal, herediter dan lingkungan. Jadi,
bagaimanapun juga, dalam lingkungan dengan fasilitas dan teman-teman yang
sedemikian rupa aku pasti berkembang.
Dan
benar, kemampuan ku sangat berkembang di SMA Negeri 1 Pandan. Lebih tepatnya
kemampuan dalam bidang teknologi. Selain gemar bertualang di dunia google dan
berkicau di jaringan sosial, kini aku sudah lebih paham tentang computer bukan
hanya pada proses IPO (Input-Processing-Output) , Microsoft Word dan Excel dan
Photo Editing. Lebih dari itu, aku sudah paham melebihi apa yang guruku ajarkan
pasa seluruh muridnya. Namun, berkicau di jejaring sosial tetap merupakan hal
yang paling sering aku lakukan dan tentu yang paling aku senangi. Berkicau di
twitter.
Setiap
masalah, keluh kesah dan seluruh kegalauan selalu ku bagi di akun twitter ku.
Dengan 140 karakter ku ceritakan di twitter. Termasuk masalah dimalam itu. Aku
dimarahi oleh salah seorang senior. Dibentak dan dihukum di kamarnya.
Hukumannya ringan saja squat jam 50 kali. Hukumannya tidak melelahkan, itu
ringan saja. Hanya saja, kata-kata yang diucapkan sang senior sangat menusuk
hati. Kalimat yang sangat menghina. Menghina hingga kepada sang Pencipta.
Kalimat itu “pakeklah otak kau dek!!!”
Kalimat
itu sederhana saja memang. Tetapi berhasil menusuk hingga ke hati ku. Aku tidak
terima dikatai senior tidak pakai otak. Sepanjang perjalanan dari kamar senior
menuju kamar ku, kalimat itu selalu terngiang. Seperti dikatakan berulang kali,
dan setip kalimat itu kembali trngiang aku ingin marah. Aku ingi mengatakan
“kakak yang tidak punya otak!!”
Kemarahan
itu aku bagian di twitter. Melalui telepon pintarku, aku menuliskan makian
kepada sang senior.
Hey bitchie, kamu dong yang seharusnya pakai otak !
begitulah kicauku di alam twitter.
Setelah selesai berkicau, aku tidur.
***
Keesokan
paginya, hal pertama yang kulakukan tentu saja mengecek telepon pintar ku. Ada
banyak pemberitahuan di twitter. Aku cek satu persatu, teman-teman ku bertanya
siapa yang aku maksud dalam kicauanku. Dan tiba-tiba aku dikagetkan oleh daftar
orang yang me-retweet kicauan ku. Selain teman-teman ku ada senior yang tadi
malam menghukum aku. Aku kaget, teramat kaget dan tentu saja ketakutan. Ini
akan menjadi masalah besar, karena aku telah menyebut senior dengan kata
bitchie di jejaring sosial.
Sungguhlah
ketakutanku menjadi kenyataan. Saat disekolah, ketika aku melewati kelas senior
tersebut, kembali aku dipanggil oleh sang senior. Kali ini dengan muka masam
dan ditengah keramaian. Mau tidak mau aku mendatanginya. Aku merasakan darahku
seakan-akan turun dan berkumpul dikaki, karena langkahku terasa sangat berat
dan tanganku seperti tangan mayat. Putih dan dingin. Otak ku tak dapat
memikirkan apa-apa. Aku merasa seperti tertimpa monitor computer era 90-an.
Nafasku sesak namun tak mampu berbuat apa-apa.
Akhirnya
aku sampai dihadapan senior.
“dek, nanti malam ke kamar kakak lagi bisa dek?”
Tanya si senior
“siap! Iya kak” jawabku singkat
“ya sudah, baliklah
ke kelas mu sana” ucap sang senior
Lalu akupun bergegas kembali ke kelasku dengan
langkah seribu. Setibanya dikelas, aku menghampiri Ika, teman dekatku. Dan
tentu saja dia sudah tahu apa yang terjadi.
“apa kata kakak itu nin?” Tanya Ika
“aku disuruh ke kamar kakak itu nanti malam ka?
Aduh, gimana ini? Aku harus jawab apa nanti malam?”
“udahlah santai aja. Itukan nanti malam. Jawab aja
jujur, kau tak suka dibilang tidak punya otak”
“iya, kau bicara begitu mudah ika. Tapi aku, gimana
mau bilang seperti itu sama senior? Habislah aku nanti, jadi santapan satu
kamar!” ucapku kesal kepada Ika. Kali ini Ika tidak dapat menenangkan aku.
***
Waktu
berjalan dengan sangat cepat. Lebih cepat dari biasanya. Lebih cepat karena aku
akan segera kembali ke kamar tersebut. Dan tentu saja, segala ketakutanku di
waktu yang berputar dengan sangat cepat ini, seluruhnya aku luapkan di
twitterland. Aku berkicau sepanjang hari.
Pertama aku berkicau “mampuslah aku ini x_x”
“bingung :s” kicauan ku sehabis bicara dengan Ika
“ayolah, ini tidak semengerikan yang kau bayangkan
Nina!” kicauanku beberapa menit kemudian.
“otak ku ngga bisa mikir. Terlalu lelah untuk
berpikir” kicauan ku pada jam istirahat
“masih takut. Banget!!” kicauanku selanjutnya
“takut juga bisa bikin lapat ternyata. Hahaha”
“ngga sabar nih buat nanti malam #eh”
“mama.. tolongin ninaaaa ;-(“
“5 jam lagi”
“butuh pacar buat nenangin aku”
“heboh sekali!”
“senior oh senior..”
Dan
masih banyak kicauan lainnya. Ngetweet
memang membuat aku jauh lebih tenang. Secara psikologis juga dikatakan bahwa,
menumpahkan luapan emosi memang baik bagi wanita. Tapi ngetweet tidak dapat
membuat aku lepas dari masalah ini. Beberapa jam sebelum aku ke kamar sang senior,
salah seorang temanku mendatangi ku sambil membawa telepon pintarnya.
“Nin, liatlah ini, tweet kakak ini ngeri-ngeri kali. Sepertinya untukmu” kata Lisa
“yang mana lis?” Tanya ku
“yang ini lohhh”
Lisa menunjukkan salah satu tweet yang berisi “kalok
marah jangan di twitterlah adekku saying :*”
Tweet tersebut sontak membuat aku kaget dan semakin
khawatir.
“ini ada lagi. Kakak itu mention-mentionan sama
temannya. Mention-mentionan orang itu kayak mau ngebliangkan ke kau gitu nin!”
kata Lisa
Aku terdiam. Semakin takut. Khawatir dengan apa yang
akan terjadi nanti malam. Apakah mungkin dengan sang senior akan menghukum aku
untuk squat jam 50 kali dengan kesalahan sefatal ini? Aku telah menyebutnya bitchie. Aku menyadari itu kasar sekali.
Tapi aku tidak menyangka akan ketahuan seperti ini. Bagaimana mungkin seorang
yang berbakat dibidang ini menjadi tersangka dan harus menghadap kepada seorang
senior.?
****
Waktu untuk menghadap sang senior pun tiba. Dengan
langkah yang sangat berat aku mendatangi kamar sang senior. Nafasku mulai sesak
karena ketakutan. Tanganku juga dingin dan berkeringat. Seakan-akan ini adalah
akhir hidupku. Tiba di depan kamar sang senior, aku mengetuk pintu kamarnya.
Tok tok tok “siswi Nina izin masuk kak!”
Terdengar suara dari dalam “masuk dek!”
Lalu aku membuka pintu dan masuk “izin masuk kak”
Teryata ada empat orang senior didalam kamar. Selain
sang senior ada dua orang senior yang berbakat dibidang IT dan satunya lagi
terkenal sebagai senior yang baik hati. Lalu aku memberi hormat kepada
masing-masing senior.
“selamat malam kak” kepada sang senior
“selamat malam kak” kepada senior baik hati
“selamat malam kak” kepada senior yang jago IT
“selamat malam kak” kepada senior yang jago IT yang
lainnya
Setelah aku memberikan hormat, sang senior bertanya
kepada ku
“dek,
kamu tahu kenapa kakak memanggil kamu kemari?”
“siap,
kurang tahu kak!” jawab ku singkat
“serius kurang tahu?” Tanya sang senior lagi
“siap, iya kak!” jawabku tegas
“kakak memanggil kamu malam ini, untuk menanyakan
kenapa kemarin malam, kamu membuat tweet kasar?. Sebagai siswi di SMA seperti
ini tidak sepantasnya kamu memaki di jejaring sosial”
“siap , iya kak” jawab ku
Lalu sang senior mendatangi dua senior yang jago IT,
membisikkan sesuatu.
Lalu salah satu senior jago IT bertanya “dek, kamu
tahu etika berkicau di twitter?”
“siap, kurang tahu kak. Saya hanya tau saya bebas
untuk berkicau dan menyampaikan apa saja di twitter” jawabku
“ngga gitu dek. Walaupun orang bilang bebas, tapi
tidak sebebas yang kamu bayangkan. Apa yang kamu kicaukan di twitter akan
diketahui oleh semua orang di seluruh dunia” senior IT yang satunya lagi
berusaha memberikan penjelasan
Lalu senior baik hati menambahi
“dek bayangkan saja kalau twitter itu seperti di
lapangan apel sekolah. Setiap orang yang membuat tweet ibaratkan dengan
berbicara di tengah lapangan menggunakan pengeras suara. Semua orang akan
mendengarkan bukan?. Nah, seperti itu juga berkicau di twitter, mungkin
pengikutmu hanya anak-anak SMA ini saja, tetapi apa pantas mereka membaca twit
kasar seperti itu?”
“siap, tidak kak” jawab ku
“nah, walaupun pengikutmu hanya anak SMA ini saja,
tetapi apakah seluruh dunia tidak bisa membuka akun mu? Tentu bisa bukan? Oleh
karena itu kita harus beretika di twitter. Walaupun itu hanya dunia maya”.
“siap iya kak” jawabku dengan nada menyesal
Tiba-tiba ssang senior angkat bicara
“ jadi teman-teman, apalah hukuman yang baik untuk
junior ku tersayang?”
“ya sudah, hukum saja untuk menghafal 12 etika di
twitter dan menyebarkannya kepada teman-temannya”. Jawab senior baik hati
“oke, usulan diterima. Kalian dua setuju? “ tanyanya
pada kedua senior jago IT
“ ya sudah, hukuman seperti itu sepertinya bagus”
jawab salah satunya
Lalu sang senior menyerahkan sebuat kertas berisi
etika ditwitter yang diambil dari internet.
“malam ini, hafal ya dek, besok pagi kita tes,
apakah kamu sudah hafal atau belum” ucap sang senior
“siap iya kak” jawabku tegas
“oh ya, kakak juga minta maaf kalau tadi malam kakak
mengatakan kamu tidak menggunakan otak kamu”
“siap iya kak!”
“ya sudah, kembalilah ke kamar mu!”
Lalu aku keluar kamar sang senior dengan nafas lega.
Kembali ke kamar ku dan bersiap untuk menghafal keduabelas etika di twitter.
Aku lega, sangat lega. Aku tidak menyangka sang senior akan menghukumku dengan
cara ini. Aku sudah terlanjur berpikiran negative, bahwa sang senior akan
menghukum ku dengan hukuman fisik. Karena seperti itulah biasanya. Mulai hari
ini, aku akan berusaha sebaik ini untuk
mematuhi etika di twitter. Sebagai seorang yang berbakat dibidang IT tentu saja
aku harus beretika. Karena demikianlah seharusnya.
-selesai-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar