Kamis, 27 Juni 2013

Pendidikan Karakter dalam Upaya Memutus Rantai Demokrasi Koruptif

Secara umum pendidikan diartikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007:263) pendidikan berarti proses pengubahan sikap dan tata perilaku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.
            Sedangkan, karakter secara harfiah artinya kualitas mental atau kekuatan moral, nama atau reputasi (Hornby dan Parnwell,1972:49). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2009:222), Karakter berarti sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain. Karakter manusia selalu dapat berubah, karena dapat dipengaruhi oleh faktor dari dalam maupun dari luar.
            Jadi, Pendidikan karakter adalah suatu usaha sadar dan terencana dalam proses pengubahan sikap dan tata perilaku seseorang menjadi seseorang yang memiliki akhlak dan kepribadian yang baik.

Menurut Akhmad Sudrajat, pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (TYME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil. Pendidikan karakter juga diartikan sebagai usaha untuk merubah atau memperbaiki kehidupan anak yang tampak kurang baik, menjadi baik (Agus Sujanto,1993:3)

Istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yakni dari kata demos yang berarti rakyat dan kratos yang berarti memerintah. Abraham Lincoln mengatkan bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan yang diselenggarakan “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Dalam sistem pemerintahan demokrasi, kedaulatan (kekuasaan tertinggi)berada di tangan rakyat.(Dadang Sundawa,dkk., 2008:104) Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007:249), demokrasi berarti pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya.
Pada hakikatnya pemerintahan demokrasi merupakan hasil dari aspirasi dan kemauan rakyat. Rakyatlah yang memilih dan mengontrolnya. Inilah sebagai bukti kedaulatan rakyat. Indonesia menerapkan sistem demokrasi, yaitu demokrasi pancasila yang berintikan musyawarah untuk mencapai mufakat dengan berpangkal tolak pada paham kekeluargaan dan kegotongroyongan serta keikutsertaan rakyat dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Demokrasi di Indonesia ini bersumber pada Pancasila dan UUD 1945. Dalam menggunakan hak-hak demokrasi haruslah disertai rasa tanggungjawab kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sesuai dengan harkat dan martabatnya, harus menjamin dan mempersatukan bangsa dan harus dimanfaatkan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (Suardi Abubakar,1995:137).
Korupsi berasal dari kata Latin Corruptio atau  Corruptus. Kemudian muncul dalam bahasa Inggris dan Prancis Corruption, dalam bahasa Belanda Korruptie. Definisi korupsi banyak sekali (Robert Klitgaart Ronald Maclean, Abaroa H. Lindsey Parris, 2002:2). Sehingga perlu kejelasan definisi korupsi yang jenis dan polanya begitu kompleks (Indra J. Piliang, 2005:92). Alatas menandaskan esensi korupsi sebagai pencurian melalui penipuan dalam situasi yang mengkhianati kepercayaan. Korupsi merupakan perwujudan immoral dari dorongan untuk memperoleh sesuatu dengan metode pencurian dan penipuan (Mansyur Semma, 2008:33).
Bedasarkan Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (2007:597), korupsi berarti penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan,dsb) tertentu untuk keuntungan pribadi atau orang lain.
Demokrasi Koruptif bisa diartikan sebagai proses demokrasi yang korup, baik dalam proses cara memperoleh kekuasaan, maupun proses ketika menjalankan kekuasaan yang telah diperolehnya. Proses memperoleh kekuasaan dilakukan dengan cara money politics untuk memanipulasi hak pilih rakyat. Partisipasi politik rakyat dimanipulasi dengan uang, dengan cara suara rakyat diperjualbelikan sebagaimana layaknya barang dagangan. Rakyat akan memilih caleg yang mau memberikan uang kepadanya, dan sebaliknya seorang caleg akan bersedia untuk mengeluarkan uang sebanyak-banyaknya agar ia dipilih oleh rakyatnya. Dan ketika ia telah terpilih dan memperoleh kekuasaan, maka dalam menjalankan kekuasaannya itu ia akan banyak melakukan penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan untuk memperkaya diri sendiri dan/ atau orang lain. 
Praktik demokrasi koruptif ini kerap terjadi dalam kehidupan politik Indonesia. Masyarakat yang seharusnya memilih dengan prinsip LUBER JURDIL sering kali menyeleweng akibat tindakan dari kandidat yang melanggar Undang-undang dan juga karena masyarakat kurang menghargai dan tidak melaksanakan prinsip demokrasi pancasila yang ada. Misalnya pelanggaran terhadap UU No.10/2008 tentang Pemilu yang melarang semua pelaksana, peserta dan petugas kampanye “menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye”. Namun pada kenyataannya, setiap pemilu selalu diwarnai dengan permainan uang untuk mempengaruhi pemilih. Dalam setiap kampanye tidak lepas dari kepentingan uang. Bahkan menurut Indra J. Piliang (2005:93), bila penggunaan uang pribadi dalam kampanye disebut sebagai money politics, maka tak akan ada orang atau partai politik yang bersih dari korupsi. Demikian juga bagi rakyat pemilih, motivasi mereka mengikuti kampanye beragam, sebagian merasa sebagai hiburan gratis, sebagian lainnya merasa wajib sebagai anggota partai, namun tak sedikit yang ikut kampanye karena diberi kaos, makan, dan “uang bensin” oleh kader-kader partai yang mengajaknya, terutama kader-kader partai baru ( Joko J. Prihatmoko Moestofa, 2008:43). Jika kita memandang dari sudut pandang yang benar maka tindakan kampanye seperti ini sangat tidak dibenarkan. Sebab, praktek money politics sebagai bahaya dan tidak tepat bagi pendidikan politik rakyat (Ibit. : 66).
Money Politics pada hakekatnya merupakan budaya yang tidak baik karena selain merupakan praktek pembodohan politik kepada rakyat dan juga bertentangan dengan ketentuan undang-undang yang berlaku (Ibit,:105). Di samping itu, biaya politik yang tinggi akibat money politics akan menimbulkan konsekuensi buruk dalam praktek pemerintahan, seperti hasrat bagi calon yang terpilih untuk mengembalikan modal yang dikeluarkan, adanya polarisasi loyalitas penguasa pada penyumbang dana, dan kurangnya perhatian pemerintah terhadap kepentingan rakyat banyak ( Amirudin, A. Zaeni Bisri, 2006:60). Dengan demikian jelas bahwa pemilu yang koruptif akan melahirkan pemerintah yang koruptif. Kedua hal tersebut merupakan wujud dari proses demokrasi yang koruptif.

Pendidikan Karakter sering disamakan dengan pendidikan budi pekerti. Seseorang dapat dikatakan berkarakter atau berwatak jika telah berhasil menyerap nilai dan keyakinan dan dikehendaki masyarakat serta digunakan sebagai kekuatan moral dalam hidupnya (Nurul Zuriah, 2007:19).
Siswa/i sebagai generasi pengganti diberikan pendidikan karakter agar memiliki kekuatan moral yang baik. Sebagaimana menurut John Locke, dengan  teori Tabula Rasanya, berpendapat bahwa anak sejak lahir, masih bersih seperti tabula rasa, dan baru akan dapat berisi bila ia menerima sesuatu dari luar lewat alat inderanya. Karena itu pengaruh dari luarlah yang sangat berpengaruh dari pada pembawaan manusia terhadap keribadian manusia (Agus Sujanto,1993:4). Hal ini dapat dibuktikan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya apabila seorang anak diajari hal-hal buruk maka kedepannya akan buruk pulalah karakter anak tersebut, dan sebaliknya, jika anak diajarkan kebaikan maka anak tersebut akan memiliki karakter yang baik setelah dewasa.
Pendidikan karakter siswa dilakukan sebagai sebuah solusi untuk memutus rantai demokrasi koruptif di Indonesia. Pendidikan karakter diberikan agar siswa memiliki karakter yang baik dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, sehingga pada masa yang akan datang, akan menjadi generasi dan pemimpin yang berkarakter.
Dengan generasi dan pemimpin yang berkarakter akan mampu melahirkan sistem demokrasi yang bersih dan berkualitas. Dan sistem demokrasi yang bersih dan berkualitas akan melahirkan pemimpin yang bersih dan berkualitas juga. Hubungan sistem demokrasi dengan pelaku demokrasi akan membentuk kausalitas secara kontinuitas.
Pada kenyataannya, sistem demokrasi yang lahir pasca reformasi yang ada pada saat ini justru membentuk sistem demokrasi yang koruptif. Hal ini dapat kita lihat dari kenyataan bahwa rakyat lebih memilih calon yang memberikan uang ataupun hal-hal yang bernilai materi dari pada pertimbangan-pertimbangan yang bersifat immateriil. Dengan biaya politik tinggi, maka potensi korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam melaksanakan kekuasaannya pun sangat besar. Pemerintahan yang koruptif akan membangun sistem demokrasi yang koruptif juga. Hubungan kausalitas tersebut hanya dapat diputus dengan perubahan generasi.
Oleh karena itu mmembangun karakter siswa merupakan hal yang urgen dan solusi yang paling efektif pada saat ini. Pendidikan karakter sangat berguna bagi siswa apalagi jika dimulai sejak dini, karena dapat membentuk suatu pribadi yang jujur, adil, dan berakhlak mulia. Masuknya pendidikan karakter dalam kurikulum dan didukung dengan kultur sekolah yang kondusif dan keteladanan pemimpin akan dapat menjamin efektivitas pendidikan karakter pada siswa.

ReferensiSundawa Dadang,dkk.2008.Pendidikan Kewarganegaraan Jilid 8. Edisi 4. Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.Jakarta. Suny, Ismail,SH.Prof.Dr.1978.Mekanisme Demokrasi Pancasila.Edisi ketiga. Penerbit Aksara Baru.Jakarta. Swasono Sri Edi dan Fauzie Ridzal.1997. Mohammad Hatta: Demokrasi Kita, Bebas Aktif, Ekonomi Masa Depan. Edisi kedua. UI Press.Jakarta. Tim Redaksi KBBI edisi ketiga.2007.Kamus Besar Bahasa Indonesia.edisi ketiga.Balai Pustaka.Jakarta.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar