Secara umum pendidikan diartikan
sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007:263) pendidikan berarti proses pengubahan
sikap dan tata perilaku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan
manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.
Sedangkan,
karakter secara harfiah artinya kualitas mental atau kekuatan moral, nama atau
reputasi (Hornby dan Parnwell,1972:49). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(2009:222), Karakter berarti sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti
yang membedakan seseorang dari yang lain. Karakter manusia selalu dapat
berubah, karena dapat dipengaruhi oleh faktor dari dalam maupun dari luar.
Jadi,
Pendidikan karakter adalah suatu usaha sadar dan terencana dalam proses
pengubahan sikap dan tata perilaku seseorang menjadi seseorang yang memiliki
akhlak dan kepribadian yang baik.
Menurut Akhmad
Sudrajat, pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai
karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran
atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik
terhadap Tuhan Yang Maha Esa (TYME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun
kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil. Pendidikan karakter juga
diartikan sebagai usaha untuk merubah atau memperbaiki kehidupan anak yang
tampak kurang baik, menjadi baik (Agus Sujanto,1993:3)
Istilah demokrasi
berasal dari bahasa Yunani, yakni dari kata demos yang berarti rakyat dan
kratos yang berarti memerintah. Abraham Lincoln mengatkan bahwa
demokrasi adalah sistem pemerintahan yang diselenggarakan “dari rakyat, oleh
rakyat, dan untuk rakyat”. Dalam sistem pemerintahan demokrasi, kedaulatan
(kekuasaan tertinggi)berada di tangan rakyat.(Dadang Sundawa,dkk., 2008:104) Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007:249), demokrasi berarti pemerintahan yang
seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya.
Pada
hakikatnya pemerintahan demokrasi merupakan hasil dari aspirasi dan kemauan
rakyat. Rakyatlah yang memilih dan mengontrolnya. Inilah sebagai bukti
kedaulatan rakyat. Indonesia
menerapkan sistem demokrasi, yaitu demokrasi pancasila yang berintikan
musyawarah untuk mencapai mufakat dengan berpangkal tolak pada paham
kekeluargaan dan kegotongroyongan serta keikutsertaan rakyat dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Demokrasi
di Indonesia ini bersumber pada Pancasila dan UUD 1945. Dalam menggunakan
hak-hak demokrasi haruslah disertai rasa tanggungjawab kepada Tuhan Yang Maha
Esa, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sesuai dengan harkat dan
martabatnya, harus menjamin dan mempersatukan bangsa dan harus dimanfaatkan
untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (Suardi
Abubakar,1995:137).
Korupsi
berasal dari kata Latin Corruptio
atau Corruptus. Kemudian muncul dalam bahasa
Inggris dan Prancis Corruption, dalam
bahasa Belanda Korruptie. Definisi
korupsi banyak sekali (Robert Klitgaart Ronald Maclean, Abaroa H. Lindsey
Parris, 2002:2). Sehingga perlu kejelasan definisi korupsi yang jenis dan
polanya begitu kompleks (Indra J. Piliang, 2005:92). Alatas menandaskan esensi
korupsi sebagai pencurian melalui penipuan dalam situasi yang mengkhianati
kepercayaan. Korupsi merupakan perwujudan immoral dari dorongan untuk
memperoleh sesuatu dengan metode pencurian dan penipuan (Mansyur Semma,
2008:33).
Bedasarkan
Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (2007:597), korupsi berarti penyelewengan atau
penyalahgunaan uang negara (perusahaan,dsb) tertentu untuk keuntungan pribadi
atau orang lain.
Demokrasi
Koruptif bisa diartikan sebagai proses demokrasi yang korup, baik dalam proses
cara memperoleh kekuasaan, maupun proses ketika menjalankan kekuasaan yang
telah diperolehnya. Proses memperoleh kekuasaan dilakukan dengan cara money
politics untuk memanipulasi hak pilih rakyat. Partisipasi politik rakyat
dimanipulasi dengan uang, dengan cara suara rakyat diperjualbelikan sebagaimana
layaknya barang dagangan. Rakyat akan memilih caleg yang mau memberikan uang
kepadanya, dan sebaliknya seorang caleg akan bersedia untuk mengeluarkan uang
sebanyak-banyaknya agar ia dipilih oleh rakyatnya. Dan ketika ia telah terpilih
dan memperoleh kekuasaan, maka dalam menjalankan kekuasaannya itu ia akan
banyak melakukan penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan untuk memperkaya
diri sendiri dan/ atau orang lain.
Praktik
demokrasi koruptif ini kerap terjadi dalam kehidupan politik Indonesia .
Masyarakat yang seharusnya memilih dengan prinsip LUBER JURDIL sering kali
menyeleweng akibat tindakan dari kandidat yang melanggar Undang-undang dan juga
karena masyarakat kurang menghargai dan tidak melaksanakan prinsip demokrasi
pancasila yang ada. Misalnya pelanggaran terhadap UU No.10/2008 tentang Pemilu
yang melarang semua pelaksana, peserta dan petugas kampanye “menjanjikan atau
memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye”. Namun pada
kenyataannya, setiap pemilu selalu diwarnai dengan permainan uang untuk
mempengaruhi pemilih. Dalam setiap kampanye tidak lepas dari kepentingan uang.
Bahkan menurut Indra J. Piliang (2005:93), bila penggunaan uang pribadi dalam
kampanye disebut sebagai money politics, maka tak akan ada orang atau
partai politik yang bersih dari korupsi. Demikian juga bagi rakyat pemilih,
motivasi mereka mengikuti kampanye beragam, sebagian merasa sebagai hiburan
gratis, sebagian lainnya merasa wajib sebagai anggota partai, namun tak sedikit
yang ikut kampanye karena diberi kaos, makan, dan “uang bensin” oleh
kader-kader partai yang mengajaknya, terutama kader-kader partai baru ( Joko J.
Prihatmoko Moestofa, 2008:43). Jika kita memandang dari sudut pandang yang
benar maka tindakan kampanye seperti ini sangat tidak dibenarkan. Sebab,
praktek money politics sebagai bahaya dan tidak tepat bagi pendidikan
politik rakyat (Ibit. : 66).
Money
Politics pada hakekatnya merupakan budaya yang tidak baik
karena selain merupakan praktek pembodohan politik kepada rakyat dan juga
bertentangan dengan ketentuan undang-undang yang berlaku (Ibit,:105). Di
samping itu, biaya politik yang tinggi akibat money politics akan
menimbulkan konsekuensi buruk dalam praktek pemerintahan, seperti hasrat bagi
calon yang terpilih untuk mengembalikan modal yang dikeluarkan, adanya polarisasi
loyalitas penguasa pada penyumbang dana, dan kurangnya perhatian pemerintah
terhadap kepentingan rakyat banyak ( Amirudin, A. Zaeni Bisri, 2006:60). Dengan
demikian jelas bahwa pemilu yang koruptif akan melahirkan pemerintah yang
koruptif. Kedua hal tersebut merupakan wujud dari proses demokrasi yang
koruptif.
Pendidikan
Karakter sering disamakan dengan pendidikan budi pekerti. Seseorang dapat
dikatakan berkarakter atau berwatak jika telah berhasil menyerap nilai dan
keyakinan dan dikehendaki masyarakat serta digunakan sebagai kekuatan moral
dalam hidupnya (Nurul Zuriah, 2007:19).
Siswa/i
sebagai generasi pengganti diberikan pendidikan karakter agar memiliki kekuatan
moral yang baik. Sebagaimana menurut John Locke, dengan teori Tabula Rasanya, berpendapat bahwa anak
sejak lahir, masih bersih seperti tabula rasa, dan baru akan dapat berisi bila
ia menerima sesuatu dari luar lewat alat inderanya. Karena itu pengaruh dari
luarlah yang sangat berpengaruh dari pada pembawaan manusia terhadap keribadian
manusia (Agus Sujanto,1993:4). Hal ini dapat dibuktikan dalam kehidupan
sehari-hari. Misalnya apabila seorang anak diajari hal-hal buruk maka
kedepannya akan buruk pulalah karakter anak tersebut, dan sebaliknya, jika anak
diajarkan kebaikan maka anak tersebut akan memiliki karakter yang baik setelah
dewasa.
Pendidikan
karakter siswa dilakukan sebagai sebuah solusi untuk memutus rantai demokrasi
koruptif di Indonesia .
Pendidikan karakter diberikan agar siswa memiliki karakter yang baik dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, sehingga pada masa yang akan datang, akan
menjadi generasi dan pemimpin yang berkarakter.
Dengan
generasi dan pemimpin yang berkarakter akan mampu melahirkan sistem demokrasi
yang bersih dan berkualitas. Dan sistem demokrasi yang bersih dan berkualitas
akan melahirkan pemimpin yang bersih dan berkualitas juga. Hubungan sistem
demokrasi dengan pelaku demokrasi akan membentuk kausalitas secara kontinuitas.
Pada
kenyataannya, sistem demokrasi yang lahir pasca reformasi yang ada pada saat
ini justru membentuk sistem demokrasi yang koruptif. Hal ini dapat kita lihat
dari kenyataan bahwa rakyat lebih memilih calon
yang memberikan uang ataupun hal-hal yang bernilai materi dari pada pertimbangan-pertimbangan
yang bersifat immateriil. Dengan biaya politik tinggi, maka potensi korupsi,
kolusi, dan nepotisme dalam melaksanakan kekuasaannya pun sangat besar.
Pemerintahan yang koruptif akan membangun sistem demokrasi yang koruptif juga.
Hubungan kausalitas tersebut hanya dapat diputus dengan perubahan generasi.
Oleh
karena itu mmembangun karakter siswa merupakan hal yang urgen dan solusi yang
paling efektif pada saat ini. Pendidikan karakter sangat berguna bagi siswa
apalagi jika dimulai sejak dini, karena dapat membentuk suatu pribadi yang
jujur, adil, dan berakhlak mulia. Masuknya pendidikan karakter dalam kurikulum
dan didukung dengan kultur sekolah yang kondusif dan keteladanan pemimpin akan
dapat menjamin efektivitas pendidikan karakter pada siswa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar